Thursday, January 21, 2016

Screen hitam

Aku berdiri di sisi gedung tua itu.
menatap keramaian yang tiba-tiba menjauh.
Waktu seolah berputar kembali pada sore itu. Senja, jingga dan elegi bersatu.

Ruang-ruang kosong dalam benakku tetiba di isi semena-mena oleh screen-screen film kenangan tentang kita.
Fungsi otaku telah di boikot sepihak oleh hati yang meraja.

"Esok tak akan teganti, kau akan tetap di sini" ucapmu ketika matahari mulai tenggelam.

Aku tersenyum mengiyakan.


 waktu berjalan terlalu cepat sampai akhirnya dengan kejam  memberikan jarak
dan menghadirkan rindu yang menggebu.

Manis ini terlalu terasa,
rasa ini terlalu asing untuk di raba. Terlalu bias untuk di lihat bahkan. bahkan terlalu sulit untuk sekedar di abaikan.

Lagi-lagi waktu yang memisahkan kita.
Lagi-laga jarak akan terhempas diantara kita.
Esok, lusa lalu kapan rindu akan memecahkan pertemuan?

"Kapan kita bertemu?" Tanyaku.

"Mungkin nanti, ketika sang waktu berpihak" ucapmu.

Ya, waktu sedang mempermainkan. Semesta tertawa.
dunia sedang bercanda.

Rindu yang mengebu mulai meradang.
Rasa yang tumbuh dalam diam akhirnya terhalang.

Kita hanya manusia bukan? Tuhan yang menentukan segala rasa dan arah.
Manusia yang memeri jarak keadaan yang menambah sekat.

Bukankah janji manusia selalu bisa di ingkari?

Perlahan screen itu mulai habis, keramaian gedung tua itu kembali menepis.
Aku tersadar dalam lamunan, terjebak pada masa lalu dan kisah semu.
Bukankan ini jawaban?

--
Shinta Buana, 2013

***
narasi di atas adalah salah satu fiksi yang seharusnyan dijadiin fiksi musikal dari 2014 lalu, karena mager buat hunting fotonya akhirnya cuma jadi draft2 cerita yang sesekali gue baca ulang di notes handphone.
hopefully gue nggak males dan berhasil ngumpulin foto2nya biar narasi di atas bisa di jadiin fiksi musikal :D