Tuesday, December 31, 2013

Tempat aku pulang


Semilir angin menembus awan. Sayap jingga menuai asa. Langit sore kian meredup, gelap gulita penggantinya. Hujan mulai meninggalkan bumi ketika kumandang adzan magrib mulaiberkumandang dari tiap-tiap toa masjid.

"Sudah ya, kamu sholat dulu. Aku juga mau sholat Isya" begitu ucapan penutup perbincangan antara Nathan dan Elmira. Sudah 2 tahun belakangan Nathan yang lulusan Tehnik Geologi ditugaskan untuk menambang sebuah site pertambangan minyak di pedalaman Papua. Dan kini ia hanya dapat melepas rindu dengan sang kekasih lewat bantuan signal-signal internet.

Elmira, gadis bermata senja yang ia kenal semasa kuliah kini tengah bekerja sebagai assistant Lab micro biologi sambil melanjutkan studi S2nya di Bandung. Gadis itu cinta pertamanya, saat pertama kali menatap Elmira di perpustakaan, hati Nathan langsung memilihnya. Dialah puing puzzel yang hilang!

2 tahun yang lalu, ketika Nathan baru saja lulus dari Kampusnya  dan dengan toga kebesarannya ia memeluk Elmira penuh kasih sayang. Ia tahu waktunya bersama Elmira tidak banyak lagi. Ketika Nathan menggarap skripsinya, sebuah perusahaan asing melirik kemampuan Nathan dan menawarkannya sebuah kesempatan untuk mengembangkan kemampuan di sebuah site pertambangan di pedalaman papua.

Papua, ribuan kilometer dari Bandung, bukan jarak yang mudah untuk sebuah hubungan. Perbedaan dua jam waktu membuat semua akan semakin terasa sulit. Sanggupkah? Pikir Nathan sebelum ia membalas email konfirmasi.

"Kan ada skype, Line, Path dan lain-lain. Percaya deh, jarak nggak akan misahin kita"  Elmira berusaha meyakinkan. Sebuah kalimat sederhana yang membuat Nathan menjadi pemberani untuk mengambil pekerjaan beresiko itu.

Papua, meskipun banyak wisatawan bahkan backpacker bermimpi-mimpi untuk datang kesana dan menikmati keindahan raja ampat, suku dhani dan lainnya tidak membuat Nathan bersemangat ketika Hari H keberangkatannya menuju tanah yang merupakan salah satu pulau terbesar di dunia dan sering menjadi objek jurnalis national geographic untuk bahan beritanya.

"Nat, nanti kamu fotoin ya. Jarang-jarang kan kita kesini" ucap Andini, seorang geologist tamu dari perusahaan lain. Andini sudah sebulan berada di papua dan diminta perusahaan tempat Nathan bekerja unuk diperbantukan menganalisis site pengeboran minyak disana.
Meskipun lahir dan besar di jakarta, Andini tidak tampak canggung dengan kondisi papua yang sulit sinyal, pedalaman dan tidak ada mall besar tempat biasa anak gaul ibukota nongkrong.

"Nat, ayo cepat. Kapalnya mau berangkat!" Teriak Andini yang sudah berada di dermaga. Rencananya liburan tahun baru kali ini akan mereka sempatkan untuk mengunjungi gugusan pulau raja ampat. Andini yang ternyata seorang traveler tidak menyianyakan tugasnya kali ini. "Sambil liburan gratis" ucapnya excited ketika hari pertama ia bercerita kepada Nathan betapa ia senang ditugaskan ke Papua.

Nathan sendiri selama 2 tahun bekerja di Papua,belum pernah sekalipun menggunjungi Raja ampat. Sebenarnya ia penasaran, tapi hari-hari liburnya pasti akan ia habiskan di kamar messnya atau kepusat kota Sorong untuk mengobrol dengan Elmira melalui Skype sambil ditemani beberapa kaleng softdrink. Mess tempat nathan bertugas berada di dalam hutan dan sangat sulit mendapatkan signal yang cukup untuk melakukan video call. Boro-boro video call, dapet sinyal untuk mengirimkan sms atau bbm saja sudah bersyukur.

"Kamu tau, Raja ampat adalah salah satu tempat yang ingin aku kunjungi sebelum aku mati. And it’s happening. I'm at Raja ampet!" Teriak Andini begitu kapal milik Nando, salah seorang penduduk kota sorong yang mereka kenal ketika mereka berjalan-jalan di jayapura.

"Sa sudah bilang, nggak akan menyesal jika ko kesini. Sa saja sudah dari lahir disini tidak pernah bosan kembali ke Raja ampat" ucap Nando sambil mengabadikan pemandangan indah di sekitar pulau dengan kamera DSLRnya.

"Bagus juga ya.tapi disini signal susah. Handphone saya sos" ucap Nathan sambil menggerak-gerakan hanphonye ke udara dengan harapan ada signal tersesat sampai ke handphonenya agar ia bisa menggabari kekasih hatinya yang beribu kilometer dari tempatnya berdiri.

"Forget your handphone for a while and enjoy how God paint this lanscape" ucap Andini menepuk pundak Nathan kemudian berlari ke bibir pantai bermain-main dengan ombak semetara Nando masih asyik mengabadikan moment-moment mereka disana.

"Benar kata Andini, ko buang jauh-jauh handphone ko dulu" timpal Nando.

Sore itu mereka menghabiskan sisa senja di salah satu pulau di raja ampat, menikmati jingga di ufuk barat diantara deburan ombak dan semilir angin. Perlahan percikan kembang api mulai menghiasi langit Raja ampat yang bertabur seribu bintang.

“Ini malam tahun baru terindah aku” ucap Andini sambil terus memandangi langit menyambut tahun baru. Malam itu malam pergantian tahan 2012 menjadi saksi sebuah persahabatan terjalin.
Nathan dan Nando yang duduk di kedua sisi Andini hanya tersenyum tanda setuju dengan ucapan Andini barusan

***
Hujan memeluk bumi papua pagi itu seolah masih terlalu mencintai pulau yang jarang di jamah hujan ini, sampai pukul 9 pagi hujan belum juga reda. Mungkin ini cara Tuhan menyuburkan beberapa pohon yang mulai kering, mungkin juga ini cara Tuhan mengakrabkan 2 manusia untuk berbagi cerita seputar hujan.

"Wah, jarang-jarang banget hujan di papua. Aku wajib mengabadikannya nih!" Ucap Andini bersemangat dan langsung menggerigoh tas ranselnya seperti dora the exploler dan mengeluarkan sebuah kamera DSLRnya

"Mau ikut nggak Nat?kita keluar motoin hujan sebentar" ajak Andini.

Nathan yang masih sibuk menganalisis beberapa data dari para penambang terperangah, belum sempat menjawab tangan Adhini langsung menarik lengan Nathan dan tidak  embiarkan Nathan duduk di mejanya.

"Din, nanti sakit! Udah yuk masuk" ucap Nathan memayungi gadis di sebelahnya dengan jaket yang sejak tadi menyelimuti tubuhnya. "Bentar Nat, dikit lagi nih" Andini masih sibuk memencet tombol-tombol di kameranya, mengabadikan serpihan air yang menetesi daun-daun.

"Kamu harus cobain hujan di bandung.lebih indah dari hujan disini" kemntar Nathan sambil menerawang keindahan hujan di kota yang berada di dataran tinggi jawa barat dan memiliki curah hujan yang rapat. "Eh kok kamu foto saya?" Tanya Nathan ketika lensa Andini mengarah pada Nathan.

"Kamu pria hujan" ucap Andini kemudian berlari menuju cube-cube container yang dijadikan tempatnya ia bekerja selama di Papua dan meninggalkan Nathan yang masih terpaku di luar.

***
Nathan tengah asyik membaca beberapa buku yang sengaja ia bawa dari jakarta. Beberapa adalah buku milik Elmira. Kecintaan Elmira pada buku membuat Nathan yang dulunya sangat malas membaca jadi ikut-ikutan larut dalam setiap kisah dalam buku. Buku favoritnya dalah serial detektif sherloc karya Air Arthur Conan  

"Nat, ke pusat kota Sorong yuk. Ketemu sama Nando" seperti biasa, Andini akan muncul ke di dalam mess Nathan tanpa mengetuk pintu dan langsung mengutarakan maksud dan kemauannya.

"Tapi din, saya lagi nunggu telepon dari Elmira. Rencananya siang ini dia mau telepon saya" tolak Nathan.

"Udahlah, kamu bisa bawa handphone kamu. Teleponan di jalan kan bisa" timpal Andini "Nando mau ajak kita wisata kuliner. Pamannya baru membuka lestoran di pusat kota" lanjut  Andini menggebu.

"Okelah kalau begitu, saya ganti baju dulu"

Nathan asyik berbagi cerita dengan teman-teman barunya. Belum pernah ia sebahagia ini selama ada di Papua. Beribu-ribu kilometer dari orang-orang yang ia cintai benar-benar menyiksa batinnya sampai-sampai ia tidak pernah sadar ada banyak orang senasip dengannya. Contohnya Andini. Ia anak tunggal dan belum pernah terpisah dari orang tuanya
untuk waktu lebih dari 1 minggu tapi nyatanya ia tetap bisa ceria meski jauh beribu-ribu kilometer dari orang yang ia cintai. Justru ia menebarkan keceritaan pada setiap orang yang ia temui. Sosok yang menginspirasi.

Begitu sampai mess Nathan lupa akan janjinya pada Elmira, ia buru-buru mengecek handphonenya dan benar saja panggilan dari Elmira.

"Nat,aku telepon kamu kok nggak di angkat?" Begitu message pertama dari Elmira.
"Nat, is everything ok?" Message selanjutnya.
"Semoga kamu baik-baik aja ya disana.nanti kalau udah nggak sibuk kamu
kasih tau aku. Wanna talk to you a lot of things"
Nathan mengerutkan kening, baru saja ia akan mengetik message pada
Elmira tapi langkah kaki Andini sudah kembali menghampiri.

"Nat, site A jebol. Yang keluar bukan minyak!" Teriak Andini dan langsung membuat Nathan beranjak mengambil jaketnya yang tergantung di balik pintu kemudian meninggalkan kamar messnya dan segala pikiran tentang Elmira.

Malam kian larut, Nathan masih menganalisis beberapa data dari para tehnisi dan penambang. Sample-sampel cairan tengah dianalisis oleh Andini dengan tabung-tabung reaksinya. Bagaimana bisa tanah yang mereka bor bukan berisi minyak?mana mungkin, estimasi koordinatnya sudah benar. Foto citranya juga menunjukan disana terdapat minyak,
hasil analisis kontur tanah Andini juga sudah tepat. Nathan masih memikirkan berbagai kemungkinan lainnya. Ah apa iya, leluhur tempat itu kurang suka keberadaan kita? Pikir Nathan soal mitos penduduk setempat bahwa tempat mereka melakukan pengeboran adalah tempat keramat. Ah, persetan dengan hal gaib. Akukan buakan dukun!

"Nat, Coba kamu minta kepala pengeboran untuk memperdalam titik pengeboran" ucap Andini.

Nata terperangah, bener juga. Lets try! Berjam-jam mereka menunggu di sebuah cube container yang dijadikan markas dan kantor. Bangunan-bangunan semi permanen sengaja di bangun tidak jauh dari sana untuk para staff penambang agar just in case, terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti malam ini. Dengan sigap mereka bisa di panggil.

"Nat,pinjam pundakmu dong. Aku mau tidur sebentar" ucap Andini sambil menelusuk duduk di sebelah Nathan dan merebahkan tubuhnya berjejer di sebelah Nathan yang tengah duduk di sofa ditemani secangkir kopi panas.

"Nat,kalau kamu capek bangunin aku aja" lanjut Adini setengah sadar, tapi matanya telah mengatup rapat. Nathan ikut bersandar di sofa, ia hanya tinggal menunggu hasil dari kepala penambang. Jika masih bukan minyak yang keluar terpaksa mereka harus mencari site lainnya dan artinya ia kembali harus menganalisis diamana site yang tepat.

"Pak.." Kepala penambang yang berlumuran keringat tiba-tiba masuk dan menggebu melaporkan hasil.

"Sttt" ucap Nathan memberikan isyarat agat tidak berisik,tubuh mungil Andini tengah terlelap dalam segala mimpi-mimpi sambil memeluk lengan Nathan.

"Semuanya aman. Ternyata kami kurang dalam saja mengebornya" ucapnya tersenyum memandang kedua atasannya.

Nathan tersenyum "oke!" Ucapnya setengah berbisik.

Malam itu mereka menghabisakn malam berdua, perlahan ada yang berbeda dengan debaran jatungnya. Setiap kali Andini menarik lengannya atau sekedar bersandar, jantung Nathan berdebar lebih cepat. Bahkan ketika Andini tersenyum memamerkan kebahagiaanya seolah bumi berhenti sesaat dan membiarkan Nathan menikmati senyuman yang tak pernah pudar itu. Persahabatan yang mereka bina kini berubah menjadi puing-puing kasih sayang, rindu akan sosok Andini meski hanya beberapa meter memisahkan mereka terasa begitu nyata tapi rasa ini terlalu asing. Terlalu samar dan seolah bersekat dan berjarak seberapa dekatpun fisik mereka sekarang.

***
Perlahan ada yang berubah dengan hari-hari Nathan. Kali ini ia tidak lagi merindukan pulau jawa seperti sebelumnya, dan sebaliknya ia sangat menikmati tanah papua dengan berbagai budaya aslinya. Akhir pekannya tidak lagi dihabiskan mencari signal untuk internetan tapi
dihabiskannya dengan mengabadikan keindahan alam papua dengan karena DSLR, menelusuri hutan-hutannya, berburu sunset di pantai-pantai yang belum terjamah bahkan belajar kebudayaan dan adat dari suku-suku asli disini. Hidup Nathan kali ini 1000 kali lebih  berwarna ketimbang hanya sekedar membaca.

"Nat, habis ini kita bakar ikan hasil pancingan Nando yuk" ajak Andini, anak ini memang keranjingan dengan ikan-ikan hasil laut papua. Menurutnya lebih enak dari resep rahasia  seafood dari bandar djakarta!

"Oke! Kamu tunggu aja di depan mess" Ucap Nathan tak kalah semangat sambil bersiap. Nathan hendak meninggalkan kamar messnya ketika handphone yang dahulu menjadi sahabatnya mulai terlupa dan berdering. Elmira is calling...

"Halo" sapa Nathan.
"Kamu kemana aja?akhir-akhir ini susah dihubungin" protes Elmira manja.
"Aku..ngg..susah signal" jawab Nathan berusaha meyakinkan.

Elmira tertawa,seolah Nathan baru saja melontarkan sebuah joke "kamu
tau yang jadi masalah kita bukan lagi jarak, tapi waktu. You didn't
have enough time
"

Nathan terdiam, ia ingin sekali bercerita pada Elmira apa yang terjadi. Bagaimana ia menjalani hidupnya kini, betapa indahnya tanah papua yang dahulu ia kesali dan bagaimana ia sangat menikmati hidupnya di papua sekarang, tapi rasanya akan sulit menjelaskan pada Elmira tanpa sebuah miss comunication. Hatinya masih untuk Elmira, tapi bukan Elmira yang ia tunggu kali ini.

"Nat, akhir tahun ini kontrak kamu habis kan? Aku nggak bisa berhubungan seperti sekarang. Kalau kamu serius, kamu bisa kembali ke Bandung dan memulai karir di sini. Aku nggak mau jadi orang yang menghalangi karir kamu, tapi aku juga nggak mau jadi korban perasaan
atas hubungan ini. Aku harap kamu mikirin baik-baik. Have a nice day. Salam untuk Andini" jelas Elmira, dari suaranya terdengar tenang. Seolah ia tengah membaca text dari sebuah artiket. Tapi Nathan yang mendengarkannya, jantungnya berdegup kencang!

"Mir, tunggu" potong Nathan sebelum telepon terputus "kamu salah pahan soal Andini" lanjutnya berusaha meyakinkan.

"Untuk apa yang ada di foto, mention-mention kalian di twitter cukup sebagai penjelasan atas semua ini Nat" jelas Elmira kali ini dengan nada yang lebih tinggi. Bukan kebiasaanya untuk berkata kasar apalagi bernada tinggi, tapi kali ini sepertinya kekesalannya memuncak.

"Nat,kita sama-sama dewasa. Aku cukup paham, aku nggak mau terus-terusan menjadi korban perasaan. Lebih baik aku belajar melepaskanmu sedini mungkin" jelas Elmira dengan nada yang mulai mengendur dan nafas tang mulai tidak beraturan. Nathan tau betul Elmira pasti amat tersakiti di sana dan sekarang tengah bersedu sedah dengan lembaran-lembaran tissue yang menjadi sahabatnya.

"Mir, maafkan aku" Nathan pada akhirnya hanya dapat berucap maaf. Tidak tau harus bagaimana.

"Klik" telepon terputus.

***
"Nat, ini kan minggu terakhirku di Papua. Thanks ya sudah menjadi teman atau kamu nggak keberatan sahabat terbaik selama aku disini" ucap Andini syahdu. Sore ini Nando absen. Ia tengah pergi ke jayapura mengunjungi kerabatnya disana. Sementara Nathan dan Andini  memilih sebuah Pantai yang sepi, beberapa minggu lalu mereka menemukan pantai ini bersama Nando. Dan minggu ini mereka meminjam kapal Nando sebagai transportasi menuju kesini.

"Aku bakal kangen banget sama kamu, din" ucap Nathan ikut syahdu memandangi matahari yang mulai menguning dan deburan ombak yang memecah karang.

"Nat,kamu tau kan aku memanggapmu lebih dari sekedar sahabat? Aku sayang kamu,Nat" ungkap Andini tanpa menengok dan terus memandangi senja yang semakin jingga di hadapannya.

Sekali lagi jantung Nathan seolah siap terjun bebas meninggalkan sang pemiliknya.

"Aku tau ini salah, kamu sudah punya Elmira. Tapi apakah ada yang salah dari sebuah rasa?" Andini kali ini menjelaskan dengan nada bergetar, seolah menahan deburan perasaan yang berkecambuk di dalam dirinya.

"Din, nggak ada yang salah dari sebuah rasa. Hanya waktunya saja tidak tepat" jelas Nathan.

"Tapi kenapa Nat, Kenapa Tuhan malah ngenalin kamu dan menitipkan rasa ini ketika pada akhirnya Dia mengambilnya kembali" rengek Andini.

"Din,aku juga sayang kamu. Aku juga kadang nyeselin itu. Kenapa sekarang baru Tuhan ngenalin kamu. Tapi aku tau, Tuhan pasti punya rencana bukan? Seperti mengirimkan kamu ketika aku merasa lemah untuk bertahan disini. You made my day. All my day"

"Nat, kalau kamu juga sayang sama aku, kenapa kita harus saling meracuni dengan berbagi jarak dan mengingkari semua yang ada?" Andini kali ini mulai tidak dapat menahan emosi, air matanya mulai memenuhi matanya yang indah dan siap terjun bebas ke pipinya.

"Din, simpan semua rasa yang kita punya sekarang untuk orang yang tepat untuk kita. Kita cuma saling mengisi kekosongan sementara. Aku yakin setelah kamu pulang dari sini akan ada laki-laki yang pantas untukmu" Nathan berusaha meyakinkan dan memeluk Andini yang telah berhujan air mata.

Sore itu senja menjadi saksi atas kegelisahan perasaan mereka. Jingga yang menguning menjadi penggantar segala jawaban. Perlahan langit yang menguningpun berganti dengan gelap.

***
"Nathan, bagaimana?apa kamu bersedia menjadi supervisior untuk site kita di Papua?" Tanya Pak Cokro, siang itu cuaca papua sedang cerah. Daun-daun tua mulai melepaskan diri dari tangkainya dan meninggalkan dahan terbang entah kemana.

Nathan tersenyum, ia sudah tau kemana arah pertanyaan ini. Ia telah memikirkannya sebulan belakangan. Hidupnya kembali membosankan semenjak sebulan yang lalu Andini pulang ke Ibu kota. Sepertinya ia sudah tidak memiliki alasan lagi untuk tetap bertahan di pulau yang
menyimpan banyak surga tersembunyi ini. "Saya butuh challenge baru pak, kalau bapak tidak keberatan saya akan senang jika di tugaskan kembali di jakarta atau kota mana saja" jawab Nathan.

"Karir kamu akan sangat berkembang jika disini" lanjut Pak Cokro, ia tahu betul Nathan. Salah satu lulusan terbaik dan berpotensi. Terlalu sayang jika ia harus merelakan pegawai dengan kemampuan seperti Nathan.

"Saya terlalu rindu akan ibu kota pak, sebagian dari diri saya sudah ada disana"

Pak Cokro mengangguk berusaha mengerti, memang berat meminta pemuda dengan masadepan yang panjang seperti Nathan untuk bertahan di kota terpencil seperti ini. Ia menghargai keputusan salah satu partner kerja terbaiknya. "Well, saya akan coba hubungi kantor pusat"

"Terimakasih pak" ucap Nathan.
***
Nathan berjalan menelusuri lorong-lorong yang kosong, dulu beberapa tahun lalu disini tempat ia menghabiskan waktu. bercumbu dengan buku-buku tebal, berbagi tawa dengan teman seangkatan bahkan berbagi mimpi dengan Elmira.

Lorong itu sepi, hanya ada beberapa mahasiswa berlalulalang melewati koridor menuju kelas. Mungkin karena sedang musim liburan, banyak mahasiswa yang lebih memilih berlibur ketimbang nongkrong di kampus atau sekedar bertegur sapa dengan dosen.

Ah, a simple life as student. Pikir nathan, mungkin ia rindu bagaimana UAS membunuhnya dengan diktat-diktat kuliah atau sekedar begadang berduaan dengan laptop membuat pepper yang kejar deadline. Tapi toh segala yang telah dimakan sang waktu tidak akan kembali bukan, bukankah kita harus tetap realistis menjalani hidup dan hanya cukup sesekali membaca lembaran yang telah kita tutup?

Langkah Nathan semakin cepat ketika dilihatnya sosok yang sangat familiar melintas di hadapannya. Siluet gadis ramping berkuncir kuda dengan kemeja fanel berwarna biru awan. Elmira. Ia masih tetap sama seperti 2 tahun yang lalu saat ia tinggalkan.

"Mira!" Panggil Nathan.

Elmira menengok ke arah sumber suara dan terperangah begitu ia lihat sosok Nathan di hadapannya.

"As per my promise. I'm going home and you are my home"

Elmira tersenyum. "Jadi udah lupa sama Andini nih?"

Nathan tertawa.

Bandung cerah kala itu, hujan seolah enggan memeluk bumi dan semesta berkonspirasi menjadi saksi pertemuan kembali Nathan dan Elmira. Mereka kembali berbagi cerita, berbagi mimpi di salah satu jalanan di braga. Menikmati langit senja yang menguning tanpa berfikir
sekeliling. Sore itu kening Elmira menjadi persinggahan bibir Nathan. Langit kembali menjadi saksi sebuah cerita.

Tentang Andini, Nathan selalu berdoa semoga Andini dalam keadaan bagahia. Mungkin ini caranya untuk membalan cinta Andini, dengan terus mendoakannya. Mendoakan sebuah persinggahannya saat di Papua yang selalu menjadi pelepas dahaga diantara kerinduan yang terpendam.




Inspirasi : Lagu Fiersa Besari - Tempat Aku Pulang
Diikutsertakan dalam lomba #NulisKilat bersama @_Plotpoin dan @BentangPustaka

Saturday, December 28, 2013

Tentang Impian




Langit mulai meredup ketika Reno dan Marsya duduk diatas sebuah kap mobil jeep Reno yang terparkir di depans ebuah padang rumput di salah satu bukit di sentul. Waktu menunjukan pukul  5.35, tada langit akan menampilkan sandiwara dengan segala warna jingga. Burung-burung menari mengikuti tiupan anggin bersamaan dengan awan yang mulai memudar berganti bias jingga.
Perlahan  rangkulan Reno semakin merapat, mendekap erat tubuh Marsya, ia tahu waktu yang mereka punya tidak banyak. Bahkan mungkin kali ini adalah senja terakhi yang bisa mereka nikmati bersama.

“kamu tau, sehabis senja memberikan kegelapan berjam-jam kemudian ada fajar yang akhirnya memberikan pencerahan. Disanalah pagi diaman semua kehidupan dimulai” ungkap marsya tanpa menoleh ke arah Reno. Ia terus khuyuk memandangi senja di hadapannya. Bias-bias jingga kini mulai menghitam dan berganti gulita.

“Aku akan sangat merindukan senja seperti ini” Marsya kembali berkata-kata, kali ini dengan nada yang lirih. Seolah lidahnya pelu dan tenggorokannya sakit ketika apa yang begitu indah harus ia lepas begitu saja.
Marsya yang baru saja menerima konfirmasi bahwa beasiswanya ke Jerman telah di confirm dan bulan depan ia akan dapat merasakan menjadi salah satu mahasiswi psikologi di negara dimana psikologi lahir. Sudah menjadi impian kebanyakan oang yang mendalami psikologi untuk dapat mencari ilmu di Jerman dan marsya adalah salah satu yang beruntung mendapatkan beasiswa full unuk jenjang master clinical.
Reno terdiam, sepertinya sudah tidak ada kata dalam kamus bahasa indonesia yang dapat menggambarkan perasaanya sekarang. Bahagia, sedih, bangga, kesal semua berkumpul jadi satu. Rasanya ia hanya dapat berharap ada sebuah keajaiban agar waktu berhenti sejenak dan membiarkan mereka berdua menjalani kehidupan normal seperti sebelumnya, kalau permintaanya teralu imposible mungkin Reno hanya berharap bahwa doraemon dan pintu kemana saja bukanlah hanya fiktif belaka.
“selalu ada resiko di setiap langkah dan kali ini aku melibatkan kamu dalam langkahku. Maafin ya Ren” Air mata marsya kali ini turut serta dalam setiap kalimat yang terucap. Pipinya yang tirus kini dibanjiriair mata dan nafasnya mulai tidak beraturan.

Pelukan reno semakin erat, ia sendiri sedih. Teramat sangat! Jika saja Marsya tahu perasaannya sekarang. Seandainya seorang laki-laki yang dianggap superior dan kuat dapat dengan mudah mengeluarkan air mata seperti apa yang perempuan lakukan. Sudah habis airmatanya membanjiri.

“kalau nanti ada perempuan lain yang mennatik hati kamu sebelum aku pulang, kamu boleh hapus semua mimpi kita. Begitupun aku” Marsya berucap lembut sebelum akhirnya ia melepaskan pelukan Reno

 “Well, it’s too late. Ayo anter aku pulang sebelum Papa nyariin” Marsya melepaskan pelukannya sebelum ia terlalu larut terbawa suasana dan semakin tertatih melangkah.
2 tahun kemudian.
Reno duduk di atas Jeepnya, masih memandangi senja di tempat yang sama ketika dua tahun lalu Marsya terakhir kami memeluknya.
Marsya, masih menjadi pemeran utama dalam panggung hidupnya. Masih menjadi tokoh yang selalu ia doakan meski ribuat mil memisahkan.
"Love is not about how many days, months, or years you've been together. Love is about how much you love each other everyday." pikir reno mengutip sebuah quote.



diikutsertakan dalam #FF2in1 pertama dalam @nulisbuku


credit :
Picture taken here

Tarian Hujan



 

“Sammer, bangun nak” Ibu yang baru saja membuka gordyn biru yang menutupi sebuah jendela besar di kamar Sammer membelai putri sematawayangnya penuh kasih. Sammer namanya, diambil dari bahasa inggris ‘Summer’ yang artinya musim panas. Harapannya ketika Tuhan meniupkan nafas pada putri kecilnya adalah agar hidupnya kelak seindah musim panas.
Tapi hidup selalu memiliki cara untuk memberi warna, semenjak ayahnya meninggal setahun yang lalu saat musim panas,  Sammer hampir mengurung diri di dalam kamarnya. Kembali khusyuk dengan berbagai buku bacaannya dan mencintai hujan. Baginya, hujan memberikan kesejukan dan menghilangkan rasa haus akan kenangan tentang ayahnya.
“Bu, Sammer nggak masuk sekolah ya. Diluar terlalu panas” ucapnya ketika melihat langit biru menghiasi jendela besar di hadapannya.
Ibu tertawa “kamukan bukan Vampire, kenapa haru takut matahari sih”
Dengan enggan Sammer berjalan menuju halte dekat rumahnya, untuk sampai ke sekolahnya ia harus menumpang sebuah bus yang setiap hari berlalulalang di sana. Cuaca cerah yang tadi pagi sempat membuat Sammer kesal akhirnya berubah menjadi mendung. Langgit biru berubah menjadi awan mendung dan angin. Meskipun Sammer menyukai hujan, bukan berarti ia berharap kehujanan untuk sampai kesekolah.
Sesuai dugaannya, hujan yang semula gerimis berubah menjadi butiran yang lebih deras. Lebih deras sampai akhirnya sangat deras. Sammer duduk menepi agar tidak kehujanan. Motor-motor yang semula mengabaikan kini ikut menepi dan melindungi diri dari serangan hujan.
“Sam” sebuah suara yang familiar sampai ke telinga Sammer
“Ibu?” Sammer menoleh ke Sumber suara.
Ibu tengah melambaikan tanggan sambil membawa sebuah payung pink milik Sammer tidak jaug dari halte. Dengan sigap Sammer berlari menerobos hujan menghampiri Ibunya.
“Kok Ibu kesini?” tanya Sammer.
“Mari kita menari tarian hujan!” ucap Ibu bersemangat.
“Maksudnya?” tanya Sammer tidak mengerti.
“Ibu kira, musim yang terbaik adalah musim panas. Makanya Ibu kasih nama kamu Sammer. Peuh keceriaan dan warna. Ibu benci hujan yang melankolis dan dingin. Tapi, hari ini ibu sadar, nggak semua yang berwarna abu-abu itu suram seperti awan mendung. Selalu ada pelangi sehabis hujan reda. Jadi, mari kita tarikan tarian hujan agar hujan reda dan pelangi muncul!” jelas Ibu sambil tersenyum dan mulai memutar-mutar payungnya yang bermotif pelangi sehingga tampak seperti busaran warna. Indah.
Sammer terperangah dan mengikuti mearikan tarian hujan.


Diikutsertakan dalam #FF2in1 dalam @nulisbuku
Picture taken here

Wednesday, December 18, 2013

Tiap Senja

 Sunset from My Rooftop

Jakarta, 2010.
Hujan kala senja mempertemukan dua manusia. derasnya hujan yang membasahi bumi yang gersang seolah membantu menyejukan hati yang telah panas. Kirana menatap dalam seorang lelaki berambut sedikit gondrong di sebelahnya.Adiyo, namanya.

Kirana, sang melankolis sejati pecinta hujan bertemu Adiyo, sang sanguinis tulen dan personil band rock. mereka bertemu kala senja menyapa. Saling berukar cerita dan berusaha menyatukan perasaan satu sama lain.

"Rokok?" tanya lelaki itu menawarkan sebungkus rokoknya yang masih utuh.
"Nggak" tolak Kirana.
"Hujan terlalu deras untuk di terobos, mau duduk sambil minum kopi hangat di sana?" tanya Adiyo sambil mengisap dalam-dalam rokoknya yang hampir habis dan menginjaknya sepenuh hati.

sore itu waktu berjalan begitu cepat, hingga akhirnya sang senja tenggelam di ujung jingga dan menggantikan gelap bulan menemani perbincangan dua manusia dengan dua dunia berbeda.

"Nice to meet you! see you around" ucap Kirana malam itu sebelum ia benar-benar meninggalkan Adiyo sendirian dengan sepeda motor tuanya di ujung pintu rumahnya.
"Nice to meet you too" balas Adiyo sambil terus menatap punggung Kirana dan menghilang dibalik pintu.
 ***
Jakarta, 2011.

Sekali lagi senja mempertemukan mereka. dua manusai dengan dua dunia berbeda. duduk bersebelahan di atas sebuah jeep menatap padang rumput savana sambil bertukar cerita.
"kamu tau kenapa kita duduk di sini?" tanya Kirana.
"karena senja?" Adiyo berusaha menebak dengan penuh keraguan.
"Karena kita berbeda" jawab Kirana

mereka tertawa, kembali merajut asam dan menyulam mimpi yang tersisa menatap indahnya senja di temani cakrawala.
bagaimana bisa waktu berjalan begitu cepat, seolah semesta tertawa menatap dua manusia yang sedang jatuh cinta.

***
Jakarta, 2012.

Senja yang menguning telah berubah menjadi kelabu. awan jingga telah berganti gelap. bulan menggantikan posisi matahari. begitulah langit, tetap setenang biasanya tapi segala angin berkecambuk di bumi.
"Sampai disini saja" ucap Kirana ketika mobil jeep yang dikemudikan Adiyo hendak mengantarnya pulang.
"Kenapa?" tanya Adiyo heran. sudah beberapa hari ini Kirana yang dicintainya dengan segala perbedaan yang mereka miliki telah berubah. ya, seolah tiada lagi asa, tiadalagi mimpi yang tersisa.
 "Mulai besok, kamu nggak usah jemput lagi" pesan Kirana sebelum turun meninggalkan jeep yang telah membawanya berkeliling jakarta dan banyak tempat lainnya memburu senja bersama Adiyo.
Adiyo menatap Kirana sampai bayangannya hilang. dikejauhan ia memutarbalikan kemudi dan menancapkan gas sekeras ia bisa dan pergi!

"Terimakasih untuk semua senja, kita terlalu berbeda" tulis Kirana di SMS.
langgit yang cerah seolah runtuh di kepala Adiyo. nyaris saja handphone yang ia pegang jatuh ke pelukan tong sampah sepeti segala mimpi yang telah mereka rajut besama.

***
Jakarta, 2013.

Senja kali ini mempertemukan dua manusia yang dahulu sempat merajut asa bersama, membangun segala mimpi yang tercipta dengan situasi yang berbeda.
Kirana duduk dengan hikmat lengkap dengan sebuah kebaya putih dan rangkaian bunga melati menghiasi sanggul dikepala.
disebelahnya duduk seorang lelaki agah dengan jas puih menjabat tangan seorang lelaki paruh baya yang mereka sebut sebagai penghulu.
upacara sederhana tentang janji sepasang manusia untuk hidup bersama, merajut asa dan membangun mimpi hingga jadi nyata.

tidak jauh dari sana, sorang lelaki yang dulu berambut gondong sedikit beranakan kini tegah duduk dengan tenang diantara hadirin. jantungnya sempat berdegup lebih cepat ketika dilihatnya kembali bidadari yang pernah mengisi setiap sudut imajenasinya dan ruang di hatinya. tapi bukankan seorang pemimpipun harus realistis? gadis itu bukan lagi untuknya. kisah iu bukan bercerita tentangnya. sebuah buku kenangan telah tertutup dan dengan ketegaran ia berusaha membuka sebuah buku baru.

"Semoga tahun depan kita bisa nyusul ya" bisik Carissa pada Adiyo. tanggan mereka saling menggengam dan menguatkan.

"I hope so" ucap Adiyo tersenyum.

  • Bilakah kau menepi di labuhku?
    Bilakah kau menjauh?
    Membentang kau jelas di sana, namun tak teraih
    Kau tak datang pun tak pergi

    Riak-riak berlabuh di pantaiku
    Darahku kian menderu
    Sadari tak jelas disana, apakah karenamu?
    Kau tak nyata pun tak semu

    Tidakkah cinta berkuasa?
    Tak mestinya luka menghentikan langkah
    Bila saatnya, hadapilah!
    (Tiap senja by Float)


***

Photo taken and edited by Shinta Buana (sunset from my rooftop)
Inspiration : Tiap Senja by Float

Wednesday, December 11, 2013

Sayap Mimpi yang Patah

"Aku akan mengejar mimpiku" katamu dengan mata berbinar.

Ya, mimpi yang telah kau tata degan apik. mimpi yang telah kau rajut dengan segala asa. mimpi yang akan terus membuatmu hidup. aku tercengang, bagaimana bisa kau biarkan dirimu memgejar mimpimu sendiri. bagaimaa dengan mimpi kita? bagaimana dengan asa kita?

Kau tersenyum "hidup ini terlalu singkat untuk hanya diam di kota tua ini dan menjadi lapuk" ungkapmu. ya, kota yang suram dan nyaris berkarat ini memang sudah akan mati. mati dari segala cahaya kehidupan.

Aku bersandar pada sebuah tiang, serentak langitku akan runtuh. sperti gelap malam hari yang bisu menunggu sang fajar. begitulah mimpiku. seolah kehilangan sayap untuk terus terbang dan siap merapuh bersama gelapnya senja di ufuk barat.


 diikutsertakan dalam #FF2in1 tema kedua bersama @nulisbuku


elegi kala hujan


semilir angin menghembuskan luka. Kita menelusuri jalan sore itu, menatap senja diantara tangisan gerimis. Kau memeluku erat sambil berucap “maafkan aku” lirih suaramu membuyarkan segala amarah. 

Aku membalas pelukanmu, seolah waktu akan berputar lebih cepat dan enggan jarak memisahkan kita. Aku lelaki, tak mungkin terlihat lemah olehmu. Aku pria yang akan selalu melindungimu, bagaimana terlihat begitu rapuh atas kepergianmu? Tapi semesta telah berkonspirasi. Hujan di bulan desember kala itu mewakili segala kepingan air mataku.

Senja berlalu, geremis akan berubah mejadi pelangi. Seperti sebuah elegi.  “Pada saatnya nanti kau akan tersenyum memandangi hari ini” begitu pesanmu kala itu.

diikut sertakan pada #F2in1